Judul: WARISAN YANG TERCECER, Minangkabau dan Kajian Sejarah Lokal
Penulis : Prof. Dr. Mestika Zed
Editor : Armaidi Tanjung, S.Sos, M.A
Penerbit : Pustaka Artaz
Cetakan kedua : Juni 2021
ISBN
lengkap : 978-979-8833-40-3
ISBN Jilid 1 :
978-979-8833-41-0
Ukuran :
14,2 X 20,3 cm
Halaman :
xx + 284
Harga :
Rp 110.000,-
Harimau mati meninggalkan belang,
gajah mati meninggalkan gading. Begitu pepatah yang sudah diajarkan sejak
bangku sekolah dasar. Bagi seorang akademisi, cendikiawan, tentu yang ditinggalkan
adalah karya-karyanya tatkala telah menghembuskan nafas terakhirnya. Namun
kenyataannya tidak semua akademisi yang mampu meninggalkan karyanya setelah
tidak lagi berada di alam dunia ini.
Sosok Mestika Zed merupakan akademisi
yang banyak meninggalkan karya-karya ilmiah. Baik berupa buku, tulisan, maupun
pemikirannya yang hingga kini masih bisa dibaca banyak orang. Mestika Zed yang
dikenal sosok dosen idealis yang banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan
ilmiah, menghadiri dan menjadi narasumber
di berbagai seminar, pelatihan workshop, lokakarya dan penelitian,
berskala lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Hal itu bisa dilihat
dari banyaknya buku yang dihasilkan Mestika Zed. Tidak saja buku-buku
bertemakan sejarah karena disiplin ilmunya bidang sejarah, akan tetapi juga
buku lainnya yang menjadi referensi
banyak kalangan akademisi, baik mahasiswa maupun dosen di berbagai perguruan
tinggi.
Meski banyak tampil di
berbagai forum ilmiah, seminar, lokakarya, workshop, diskusi dan bedah buku,
Mestika Zed selalu tampil dengan originalitas pemikirannnya. Hal itu
menunjukkan keluasan pemikiran dan wawasan yang menjadi ciri khas Mestika Zed.
Hal itu juga yang menjadi daya tarik banyak pihak melibatkannya di berbagai
kegiatan ilmiah dan forum.
Buku ini jilid pertama dari lima jilid yang
merupakan kumpulan makalah Mestika Zed dalam berbagai kesempatan acara seminar,
diskusi panel, lokakarya, workshop dan pelatihan. Jilid pertama ini mengulas
tiga tema, yakni tentang Minangkabau, sejarah Minangkabau dan kajian sejarah
lokal. Menurut Mestika Zed, dalam budaya Minangkabau daya menilai itu
ada dalam konsep rasa dan periksa. “Rasa dibawa naik, periksa dibawa turun”.
Dengan rasa dan periksa itulah
penilaian terus memberikan score atas realitas sosial sekitarnya. Score
ini kumulatif sifatnya. Kumulasi penilaian ini terbentuk lewat proses
sejarah, sebab tiap masyarakat, tanpa
kecuali, memiliki memori kolektif, kenangan dan cita-cita historis tertentu.
Kenangan, cita-cita, dan refleksivitas yang inheren
dalam interaksi masyarakat itu menuntut tiap pelaku individu menyesuaikan dan
membiasakan diri dengan nilai-nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. (hal.
3).
Adat dan budaya Minangkabau aslinya adalah
konstruksi masyarakat agraris. Unit sosial dan politiknya berada di tingkat nagari. Maka ada ungkapan adat yang
mengatakan “Adat salingka nagari” (adat-istiadat hanya berlaku di lingkungan
nagari itu saja). Pada masa prakolonial, tidak ada organisasi supra-nagari yang
menghubungkan nagari dengan raja, karena raja yang sebenarnya dalam kebudayaan
Minangkabau bukanlah “orang”, melainkan adat,
dikenal “Adat Nan Empat”. Nan Empat ialah adat. Nan Empat itu berasal dari yang
Esa: Allah s.w.t. Itulah “adat yang sebenarnya adat”, yaitu ajaran dan segala
hikmahnya yang dijawat dari Nabi Muhammad s.a.w. dan firman Tuhan dalam
Kitab-NYA. Dari sinilah diambil sumber-sumber adat yang sebenarnya sehingga
dikatakan: Adat nan sabana adat indak lapuak dek hujan indak lakang dek
paneh kok dicabuik indak mati, kok diasak indak layua. (Adat yang
sebenarnya adat, tidak lapuk kena hujan; tak lekang kena panas. Kalau dicabut
tidak mati; kalau dipindahkan tidak layu). Adat bersendi syarak, Syarak
bersendi kitabullah. Syarak mangato, adat mamakai. (hal. 3-4_.
Pada masa kolonial hukum adat dikodifikasikan oleh
Belanda. Kalau tidak salah, Van Vollenhoven, ahli hukum adat Belanda,
mendokumentasikan sekitar 19 daerah hukum adat di Indonesia, termasuk satu
diantaranya ialah hukum adat Minangkabau. Dalam konsepsi negara kolonial, hukum
adat yang dianut oleh suku-suku bangsa di masa penjajahan itu merupakan
subordinasi dari hukum positif yang dibuat oleh negara kolonial. Jadi pada saat yang sama berlaku dua sistem
hukum: hukum adat dan hukum kolonial (hukum positif) ciptaan negara kolonial
Belanda. Sebagian hukum adat diinterpretasi ulang oleh Belanda, lalu
digabungkan dengan hukum positif (hukum tertulis). Sekedar ilustrasi, misalnya,
konsep kelarasan yang di dalam adat Minangkabau tadinya mengacu pada konsep
sistem sosial masyarakat (Bodi-Caniago dan Koto-Piliang) oleh Belanda
dimodifikasi menjadi unit pemeritahan. Maka ada yang namanya Tuanku Lareh
(laras) yang mengepalai suatu distrik tertentu. Padahal jabatan ini tidak
dikenal dalam adat Minangkabau sebelumnya. (hal. 4).
Dibagian
kajian sejarah lokal, Mestika Zed menulis penduduk Bumiputra Padang
umumnya berasal dari kelompok orang Minangkabau yang pindah dari pedalaman
khususnya dari Solok-Selayo dan juga dari daerah lain. Generasi pertama orang
Padang tinggal mengelompok dalam delapan kelompok suku, disebut Nan Selapan
Suku. Pemukim pertama di Padang mula-mula menempati bagian selatan Batang
Arau, yaitu di suatu kawasan yang sampai sekarang dikenal dengan Seberang
Padang. Dari sini mereka berkembang biak dan sebagian pindah ke utara, di mana
mereka mendirikan kampung baru seperti Alang Laweh, Ranah, Olo, Parak Gadang
dan Ganting. Kelompok pemukiman inilah yang menjadi generasi pertama sebelum
VOC datang ke Padang abad ke-17. Sebagian migran yang bergerak dari pedalaman
Minangkabau tidak meneruskan perjalanan mereka ke daerah Padang sekarang,
melainkan menetap di nagari Pauh dan Koto
Tangah, yang dalam administrasi kolonial Belanda sejak abad ke-19
dikenal dengan Padangsche Ommelanden (Padang Luar Kota). (hal. 156).
Jadi, sebelum kedatangan Kompeni Belanda (VOC), di Padang hanyalah sebuah
dusun kecil dengan tempat tinggal yang terserak di tanah gurun yang didominasi
oleh rawa-rawa yang ditumbuhi pohon rumbia. Dengan keadaan alam seperti itulah
pemukiman pertama berkembang menjadi nagari Padang. Pada mulanya mereka
hidup dalam kelompok suku-suku yang dikepalai oleh seorang penghulu suku
dari garis bangsawan. Mereka ini merupakan kelompok yang paling berkuasa dan
pada masa VOC menjadi “patner” Kompeni dalam kegiatan perdagangan. Sampai tahun
1730, jumlah penghulu yang diakui VOC sebagai "raja kecil", berjumlah tiga belas orang. Sebagai kelompok bangsawan
[aristokrat] pantai yang khas, yang memelihara sistem sosial tersendiri dengan
hak-hak 'privilage' atas gelar dan pemilikan, kedudukan mereka berbeda dari
kaum penghulu yang terdapat di daerah asal mereka di pedalaman. (hal. 156-157).
Perubahan-perubahan wajah Padang dari coraknya yang lama sebagai dusun
besar (big village) menjadi sebuah kota administratif Belanda tampaknya
baru mulai sejak awal abad ke-20 ini. Sudah dikatakan di muka, bahwa pada awal
abad lalu, penduduk Padang barulah sekitar 8.500 jiwa. Sampai pertengahan abad
ke-19 Belanda masih terlibat dengan suasana peperangan dengan kaum Paderi di
pedalaman. Karena itu hampir tidak ada yang dapat dikatakan tentang fasilitas
kota, kecuali barak-barak militer dan kantor-kantor atau gudang semi-permanen.
Seperti dicatat oleh Nahuijs, seorang serdadu Belanda yang melancong ke
Padang tahun 1820-an, “tempat ini” [dia tidak menyebut Padang sebagai kota]
“hanyalah sebuah bandar kecil yang kurang penting”. “Barangkali di sinilah
pemukiman Eropa yang sangat tidak terurus, yang pernah saya kunjungi di Hindia…
Dengan sejujurnya saya bisa mengatakan kepada anda, bahwa di sana saya tidak
menjumpai tiga buah rumah pun yang terawat dengan baik”. Rumah-rumah orang Cina
relatif lebih terurus. Tetapi di mana-mana bertebaran kuburan yang tidak
terurus. Perubahan-perubahan wajah Padang dari
coraknya yang lama sebagai dusun besar (big village) menjadi sebuah kota
administratif Belanda tampaknya baru mulai sejak awal abad ke-20 ini. Sudah
dikatakan di muka, bahwa pada awal abad lalu, penduduk Padang barulah sekitar
8.500 jiwa. Sampai pertengahan abad ke-19 Belanda masih terlibat dengan suasana
peperangan dengan kaum Paderi di pedalaman. Karena itu hampir tidak ada yang
dapat dikatakan tentang fasilitas kota, kecuali barak-barak militer dan
kantor-kantor atau gudang semi-permanen.
Seperti dicatat oleh Nahuijs, seorang serdadu Belanda yang melancong ke
Padang tahun 1820-an, “tempat ini” [dia tidak menyebut Padang sebagai kota]
“hanyalah sebuah bandar kecil yang kurang penting”. “Barangkali di sinilah
pemukiman Eropa yang sangat tidak terurus, yang pernah saya kunjungi di Hindia…
Dengan sejujurnya saya bisa mengatakan kepada anda, bahwa di sana saya tidak
menjumpai tiga buah rumah pun yang terawat dengan baik”. Rumah-rumah orang Cina
relatif lebih terurus. Tetapi di mana-mana bertebaran kuburan yang tidak
terurus. (hal. 159).
Perubahan-perubahan perlahan, tetapi pasti mulai berlangsung sejak
pertengahan abad ke-19 sejalan dengan mengalirnya arus pendatang baru ke
Padang, khususnya pendatang Eropa. Kedatangan mereka membuat komposisi penduduk
Padang semakin beragam. Mereka umumnya adalah serdadu kolonial dan sekaligus orang
pemerintahan militer, para pegawai “gupernemen” yang masih amat terbatas
jumlahnya itu. Sebagian di antaranya bekerja sebagai pegawai Nerderlandsche
Handeslmaatschappij (NHM - Perusahaan Dagang pengganti VOC), yang sudah
dibuka di Padang sejak tahun 1826. Kantor NHM di Padang itu adalah satu-satunya
di luar Jawa.
Perubahan-perubahan perlahan, tetapi
pasti mulai berlangsung sejak pertengahan abad ke-19 sejalan dengan mengalirnya
arus pendatang baru ke Padang, khususnya pendatang Eropa. Kedatangan mereka membuat
komposisi penduduk Padang semakin beragam. Mereka umumnya adalah serdadu
kolonial dan sekaligus orang pemerintahan militer, para pegawai “gupernemen”
yang masih amat terbatas jumlahnya itu. Sebagian di antaranya bekerja sebagai
pegawai Nerderlandsche Handeslmaatschappij (NHM - Perusahaan Dagang
pengganti VOC), yang sudah dibuka di Padang sejak tahun 1826. Kantor NHM di
Padang itu adalah satu-satunya di luar Jawa.
Berikut daftar isi buku ini:
Kata pengantar
Sambutan keluarga Mestika Zed
Pengantar: Mestika Zed dan “Warisan”
Keilmuan Prof. Ganefri, Ph.D (Rektor
UNP)
Pengantar: Perkenalan Dengan Mestika Zed
Hingga Buku Ini
BAGIAN I: MINANGKABAU
1. Adat dan Budaya Minangkabau Dalam
Perspektif Perubahan Sosial
2.
Budaya “Kesaudagaran” Minangkabau Beberapa Catatan
Pendahuluan
3.
Hubungan Minangkabau Dengan Negeri Sembilan
4.
Multikulturalsime
dan Paradoks Budaya Minangkabau
Masa Kini
5. Sekali Lagi Wacana Pembaruan Nagari dalam
Perspektif Otonomi Daerah Paska Orde Baru
6. Wacana ABS-SBK Dewasa ini: Refleksi, Rekonstruksi
dan Implementasi
BAGIAN
II :
SEJARAH MINANGKABAU
- Dharmasraya
di Antara Kerajaan-Kerajaan Melayu Kuno
di Indonesia
- Minangkabau
Dalam Encyclopedi Kutipan
Encyclopaedie Van Nederlandsch Indie - 1918
- Pasang
Surut Pemikiran Minangkabau Sebuah Eksplorasi Awal Tentang Sejarah
Intelektual Minangkabau
BAGIAN
III:
KAJIAN SEJARAH LOKAL
- Sejarah
Kota Padang Dalam Kaitannya Dengan Kota Lama
- Kota Padang Zaman Kolonial
- Kota Padang Dalam Kancah Revolusi
- Kemajemukan Masyarakat Kota Padang dalam
Perspektif Sejarah & Kebudayaan
- Nagari Pauh di Masa Lalu dan Masa Kini,
Tantangan dan Peluang ke Depan
- Menggali
Sejarah Jambu Lipo
- Apresiasi
Historis Dalam Perencanaan Pembangunan Kota Bukittinggi Di Masa Datang
- Dilihat Dari Sisi Historis-Antropologis Aset
Daerah
- Mengapa
Kita Memerlukan Sejarah Daerah Kita Ini? Beberapa Catatan tentang
Penentuan Hari Jadi Pesisir Selatan
Foto-Foto
Bersama Mestika Zed
Lampiran 1 :
Daftar Isi Jilid 1 Sampai Jilid 5
Lampiran 2:
Lima
Jilid Buku Kumpulan Tulisan Sejarawan UNP Prof. Mestika Zed Diterbitkan
Biodata
Penulis
Biodata
Editor.
(R/*)