Judul: BUNG HATTA DAN BOVEN DIGOEL: Ketika Seorang Papua Menangis Padaku (BUNG HATTA AND BOVEN DIGOEL: When a Papuan Cried to Me)
Penulis: Sastri Bakry
Editor: Ismet Fanany
Translator/penerjemah: Ismet Fanany, Darman Moenir, Narudin
Penerbit: Pustaka Artaz
Halaman : xxxiv + 274 halaman
ISBN:
978-979-8833-74-8
Halaman : xxxiv + 278
Cetakan I
: Oktober 2023
Harga : Rp 100.000,-
Nyatanya
para penyair masih tetap bersuara, mengekspresikan pikiran dan perasaannya.
Karena puisi juga obat jiwa bagi penulisnya. Ia menjadi sarana untuk
mengungkapkan ide, gagasan, kritik, kemarahan, kebahagiaan, kesedihan bahkan
nasihat akan berbagai aspek kehidupan demi perubahan. Dalam konteks itu , Adhie
akhirnya yakin bahwa "Puisi menjadi
sisi lain dari demokrasi".
Kebebasan
berekspresi (demokrasi) yang dijamin undang- undang ini lah yang mendorong sang
Penulis, Sastri Bakry, untuk terus
menulis.
Buku
ini merupakan kumpulan puisi dua bahasa dari Penulisnya dalam rentang waktu
2012- 2023. Membaca puisi Penulis buku ini, kita langsung merasakan luapan
emosi yang mendorong kelahiran puisinya itu. Luapan perasaan itu antara lain
dipicu oleh lingkungan tempat dia sedang berada. Ia juga lahir dari apa yang
didengar dan dibacanya. “Damai Abadi,” “Suara Papua,” “Kumurkek,” dan “Hatta
dan Boven Digoel (Ketika Seorang Papua Menangis Padaku),” misalnya,
mencontohkan tempat-tempat yang dikunjunginya yang menimbulkan luapan perasaan
yang kemudian menjelma menjadi puisi. Sastri acapkali menggunakan nama tempat
yang menginsprirasinya itu sebagai judul atau bagian dari judul puisinya,
seperti Papua, Kumurkek, Boven Digoel, Sungai Rhein, dan sebagainya.
Sastri merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa manusia di
tempat yang dikunjunginya atau yang berkaitan dengan tempat itu. Dia membenci
perlakuan yang tidak wajar dan tidak senonoh oleh manusia tertentu, biasanya
yang memiliki kekuasaan, terhadap manusia lainnya. Perlakuan penguasa terhadap
rakyat di Pulau Rempang, misalnya, melahirkan puisi “Rempang yang Rambang.”
Penguasa yang memaksa penduduk pulau itu pindah ke tempat lain rupanya
melahirkan, meminjam ungkapan Wordsworth di atas, “luapan perasaan yang kuat”
dalam diri Sastri.
Sastri Bakry bukan hanya seorang penyair. Dia juga seorang
budayawan. Konrtibusinya sebagai seorang budayawan diakui dalam bentuk Anugerah
Tokoh Budaya Nusantara yang diberikan
kepadanya oleh Gubernur Melaka, Malaysia, Tuan Yang Terutama Tun Seri Setia
(Dr) Hj Mohd Ali bin Mohd Rustam, tahun 2023. Sastri, misalnya, aktif dalam
mengembangkan dan memperkenalkan seni pertunjukan Minangkabau ke seluruh masyarakat Indonesia dan dunia. Sastri
dengan Sumbar Talenta yang dipimpinnya acapkali mementaskan berbagai seni
pertunjukan Minang seperti nyanyi, tari, dan randai (teater tradisional
Minang), di Taman Ismail Marzuki, di negara-negara tetangga, negara-negara
Eropa, dan lain-lain.
Selain penyair dan budayawan, Sastri Bakry juga seorang birokrat.
Dia pernah menjabat sebagai Inspektur Khusus pada Inspektorat Jenderal di
Kementerian Dalam Negeri Indonesia.
Birokrat dan penyair. Dan budayawan.
Kombinasi yang jarang terjadi. Tidak mustahil semua itu memperkaya kepenyairan
Sastri. Dalam puisinya, Sastri seringkali menyuarakan dan memprotes perlakuan
yang tidak baik pihak penguasa terhadap rakyat.
Buku puisi Ini terdiri
dari tiga bagian. Bagian Pertama Bung
Hatta dan Boven Digoel, Bagian Kedua Kebenaran Tanpa Rasa Takut (Truth Without
Fear)
dan Bagian
Ketiga Pemimpin Langit (The Sky Leader.
Juga dilengkapi dengan Lampiran
(Appendix), dua tulisan yang ditulis pula oleh Narudin dan Arbak Othman.