Judul buku: Menggugat Ibu (Kumpulan Surat Untuk Ibu)
Editor :
Armaidi
Tanjung, S.Sos, M.A
Pengantar : Dra. Hj. Sastri Yunizarti Bakry, Akt, M.Si, CA, QIA (Ketua DPD SatuPena Sumatera
Barat)
Penerbit : Pustaka Artaz
ISBN : 978-979-8833-78-6
Cetakan I
: April 2024
Halaman : xii + 266
Harga : Rp 95.000,-
Ke pasar
Sikabu membeli putu mayang
Singgah
sebentar ke pasar Rambatan
Wahai
ibu kepada anak berikan kasih sayang
Supaya
mereka tidak terjerumus pada kejahatan
Kalau
mendaki gunung Merbabu
Jangan
lupa membawa seluruh perlengkapan
Marilah
berbakti pada ayah dan ibu
Supaya
ananda sukses di masa depan
Buku ini merupakan kumpulan
surat-surat yang ditulis siswa dan guru SMA, SMK dan Madrasah Aliyah di
Sumatera Barat yang mengikuti Lomba Menulis Surat untuk Ibu (LMSI) yang
diselenggarakan DPD SatuPena Provinsi Sumatera Barat. Dari hampir seribuan
surat yang masuk ke panitia, setelah
diseleksi Dewan Juri, maka 40 surat dinyatakan masuk nominasi. Semua yang masuk
nominasi diminta mempresentasikan suratnya untuk menetapkann juara 1, 2, 3 dan
harapan sebanyak lima orang untuk masing-masing kategori.
Setiap manusia terlahir dari rahim
ibunya. Setelah lahir, si anak diasuh, dirawat, dibesarkan, dididik dan hidup
bersama sang ibu sampai waktunya tiba berpisah, baik semasa masih hidup maupun
meninggal dunia. Ternyata perlakuan sang ibu kepada anaknya memang beragam. Ada
yang menyenangkan si anak, tapi juga tak sedikit yang menyengsarakan dan
memilukan.
Kisah dan pengalaman pahit sang anak
dengan ibunya terungkap dari surat-surat yang dibuat siswa SMA, SMK, Madrasah
Aliyah beserta gurunya dalam presentasi peserta nominasi Lomba Menulis Surat untuk Ibu yang
diselenggarakan DPD SatuPena Sumatera Barat, Kamis (14/12/2023) di aula Kantor
Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat. Dari 40 surat yang masuk nominasi, 20
kategori siswa dan 20 kategori guru, semuanya mengungkapkan pikiran, perasaan,
pesan yang tidak pernah terlupakan, pengalaman manis, dan tidak sedikit pula
pengalaman pahit yang dialami dari sang ibu. Tentu, sebagai sebuah keluarga,
sosok ayah juga menjadi bagian tidak terpisah bagaimana anak memandang ibunya.
Baik dewan juri, panitia, maupun
peserta banyak yang meneteskan air mata saat mendengarkan dan menyaksikan peserta
tampil. Sudah pasti peserta sendiri juga meneteskan air mata mengenang
hari-hari dan peristiwa bersama sang ibu. Saya sebagai seorang laki-laki dan
ayah dari dua anak, tanpa terasa juga meneteskan air mata. Terbawa emosional
dengan apa yang disampaikan peserta, terutama dikalangan siswa.
Ternyata saya bukan sendiri. “Saya
saja yang laki-laki, sebelum final ini, saat membaca surat peserta dari email
panitia sudah menitikkan air mata. Saat final, kembali menitikkan air mata.
Jujur, tidak bisa membayangkan ada kisah yang buruk antara anak dengan ibunya
atau kisah anak yang ditinggalkan ibu (dan ayahnya) sejak masih kecil,” tulis
Andri Satria Masri, Ketua Panitia.
Ditambahkan Sastri Bakry, “Ya,
betul, Saya berulang kali menyeka air mata. Kita jadi tahu betapa peran ibu dan anak
masing-masing. Di era gadget ini komunikasi ibu dan anak tak lagi terbangun
efektif karena masing-masing sibuk. Berita baiknya semua anak, mau sekeras apa
pun ibu, pada akhirnya tetap memuliakan ibunya,” kata Sastri Bakry salah seorang
dewan juri.
Seperti yang disampaikan siswa SMK 3
Kepulauan Mentawai Aprida Kristin Sakarebau, perjuangan hidup dengan ibunya.
Ibunya tinggalkan begitu saja oleh ayah.
Kata ayah, pergi merantau. Ayah pembohong, ternyata kawin lagi. Sehingga sang ibu berjuang dengan keras
banting tulang memenuhi kebutuhan hidupnya melawan ombak laut di kepuluan
Mentawai. “Yang lebih mengharukan adalah ketidakpedulian sang ayah yang sudah
kawin dengan perempuan lain. Meski sang ayah kemudian tinggal tidak jauh dari
kampung (rumah), akan tetapi tidak pernah peduli sedikitpun dengan saya,” kata
Aprida sembari meneteskan air mata.
Dari surat untuk ibu yang ditulis siswa dan guru SMA, SMK dan
Madrasah Aliyah ini, ada nada menggugat sang ibu karena tidak bisa menerima
perlakuan dari seorang ibu sebagaimana yang diharapkan anak. Seberapa besar pun
rasa protes tidak mau menerima perlakuan ibu kepadanya, sang anak ternyata
tidak mampu mengutarakanya. Dengan perasaan tertekan, tidak tahu mengadu
kemana, sang anak hanya memendam sendiri penderitaan.
Dengan
menulis surat untuk ibu ini, ternyata apa yang selama ini tidak diketahui
tentang komunikasi dan hubungan antara anak dengan ibunya (termasuk ayah)
terkuak. ***