Padang, -Nasib dunia perbukuan di Sumatera Barat sungguh memprihatinkan dan menyedihkan. Tidak adanya kepedulian pihak pemerintah daerah, maraknya buku bajakan hingga adanya anjuran penggunaan buku bahan ajar fotocopy di kalangan akademisi di perguruan tinggi.
Demikian terungkap pada pertemuan
Gabungan Toko Buku Indonesia (GATBI) dan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
Sumatera Barat, Sabtu (1/2/2025) di Sari Anggrek Jalan Permindo Padang. Pertemuan
dihadiri Ketua IKAPI Sumbar Purwadi, SE, Ketua GATBI Sumbar Novic, Wakil Ketua
GATBI Sumbar Resthy Anggreta Sari, Sekretaris DPD SatuPena Sumatera Barat
Armaidi Tanjung, dan duapuluhan penerbit di Sumatera Barat yang beralamat di
Padang, Padang Pariaman, Solok, Agam, Pasaman, termasuk dari UNP Prof. Rahadian
Z, S.Pd, M.Si.
Menurut Novic, kondisi perbukuan di
Sumatera Barat dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang sangat
memprihatinkan. Baik dari sisi jumlah toko buku di Sumatera Barat, distribusi
buku bajakan yang makin marak, penjualan buku online yang lebih murah karena
hasil bajakan. “Disamping itu, pembelian buku oleh pihak sekolah dan lembaga
pendidikan tinggi terpusat di tingkat nasional. Sehingga buku-buku yang
diterbitkan penerbit di daerah tidak diberi ruang untuk dibeli sekolah, karena
tidak tercantum di katalog buku yang diizinkan dibeli dari dana BOS misalnya,”
kata Novic yang juga Sekretaris IKAPI Sumbar.
Dikatakan Novic, perlu langkah-langkah
yang harus dilakukan untuk mengantisipasinya sehingga dunia perbukuan kembali
bergairah untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Dengan pelantikan kepala daerah
yang baru di Sumbar pada 6 Februari 2025 ini, mudah-mudahan ada regulasi dari
pemerintah daerah Sumbar dan kabupaten/kota di Sumbar memberi ruang yang mencerahkan
bagi perbukuan.
Ditambahkan Resthy Anggreta Sari, GATBI Sumbar
pernah memiliki anggota 300 toko buku. Tapi kini yang tergabung GATBI tidak
lebih dari jumlah jari di tangan. Mereka berguguran tidak bisa lagi bertahan
karena dunia perbukuan tidak lagi diperhatikan pemerintah daerah. “Dulu
pemerintah daerah melarang masuknya toko buku dari pusat (Jakarta) ke Kota
Padang. Sehingga memberi ruang toko buku daerah bertahan. Selain itu, sekolah
dilarang menjual buku, karena yang boleh menjual buku hanyalah toko buku,” kata
Resthy.
Resthy juga menyebutkan, adanya pihak
kampus yang hanya meminta ebook, sungguh membunuh dunia perbukuan. Saat ini
semakin sepi mahasiswa datang ke toko buku mencari buku. “Karena di kampusnya
mahasiswa tidak lagi “dipaksa” belajar dengan buku. Tapi cukup dengan ceramah,
jurnal, dan sumber di internet. Buku yang bertahan hanya buku anak-anak, agama,
Alqur’an. Sedangkan buku perguruan tinggi dan umum semakin terpuruk,” kata
Resthy.
Sekretaris SatuPena Sumbar Armaidi
Tanjung yang juga penulis buku ini menyebutkan, dunia perbukuan tidaknya hanya penerbit dan toko buku.
Tapi di situ ada penulis sebagai pihak yang melahirkan ide-ide, pemikiran, ilmu
pengetahuan, dan nilai-nilai yang harus diperhatikan. “Selama ini memang tidak
ada perhatian dari pihak pemerintah daerah terhadap penulis-penulis lokal di
sumatera Barat. Mereka dibiarkan berjalan sendirian. Padahal, para penulis
itulah yang melestarikan nilai-nilai, mewariskan kekayaan intelektual,
mengabadikan kebudayaan anak bangsa, kepada generasi hari ini dan masa depan,”
kata Armaidi Tanjung penulis puluhan buku ini.
Dikatakan Armaidi Tanjung, tahun 2008
Pemerintah Daerah Sumatera Barat pernah memberikan perhatian kepada penulis di
Sumatera Barat. Bentuknya, memberikan bantuan dana sebesar Rp 5 juta untuk
naskah buku bernuansa Sumatera Barat yang layak terbit , tapi terbentur biaya
penerbitannya. Naskah yang berhak menerimanya, setelah diseleksi oleh tim
bentukan Pemerintah Daerah Sumatera Barat. “Kebijakan ini patut dilaksanakan kembali oleh
kepala daerah yang dilantik pada 6 Februari 2025 sebagai bentuk kepedulian
terhadap dunia perbukuan,” tutur Armaidi Tanjung mengakhiri. (R/*)